Pemukulan senior ke junior jadi tradisi
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Gidion Arif Setyawan mengatakan, kompilasi yang dilakukan senior terhadap junior di STIP merupakan tradisi.
“Terkait kasus pemukulan, memang ada yang menyebut (pemukulan) sebagai tradisi taruna. Ada juga yang menyebut sebagai penindakan terhadap junior,” ujar Gidion di kantornya, Sabtu (4/5/2024).
Sebagai senior tingkat 2, Tegar merasa perlu melakukan ‘penindakan’ ketika melihat juniornya melakukan kesalahan.
“Ada yang salah menurut persepsi senior (Tegar), sehingga korban dan empat teman berkumpul di dalam toilet,” kata Gidion.
Gidion melanjutkan, ada motif senioritas dalam kasus perpecahan ini, di mana Tegar memiliki rasa arogansi terhadap juniornya.
“Motifnya ya itu, kehidupan senioritas. Jadi mungkin tumbuh rasa arogansi,” ujar Gidion.
Senioritas itu, kata Gidion, tampak sebelum peristiwa pemukulan terhasap Putu terjadi.
Disebutkan bahwa Tegar sempat bertanya kepada korban dan empat temannya, siapa yang paling kuat di antara mereka berlima.
“Ada satu kalimat dari tersangka yang menyatakan gini, ‘Mana yang paling kuat?’,” kata Gidion.
“Kemudian korban mengatakan bahwa dia yang paling kuat karena dia merasa dirinya adalah ketua kelompok dari komunitas tingkat 1 ini,” sambungnya.
Mendengar ucapan itu, Tegar seketika melayangkan pukulan ke arah ulu hati korban.